Materi BAB 1
1. PENGERTIAN DAN DEFINISI SENI
Mengapresiasi artinya berusaha mengerti tentang seni dan menjadi peka terhadap segi-segi di
dalamnya, sehinga secara sadar mampu menikmati dan menilai karya dengan semestinya.
Seni adalah salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang sejajar dengan perkembangan manusia selaku penggubah dan penikmat seni.
Kebudayaan adalah hasil pemikiran, karya dan segala
aktivitas (bukan perbuatan), yang merefleksikan naluri secara murni.
Seni memiliki nilai estetis (indah) yang disukai oleh manusia
dan mengandung ide-ide yang dinyatakan dalam bentuk aktivitas atau rupa sebagai lambang.
Dengan seni kita
dapat memperoleh kenikmatan sebagai
akibat dari refleksi perasaan terhadap stimulus
yang kita terima. Kenikmatan seni bukanlah kenikmatan fisik lahiriah, melainkan
kenikmatan batiniah yang muncul bila
kita menangkap dan merasakan simbol-simbol estetika dari penggubah seni. Dalam hal ini seni memiliki nilai
spiritual.
Kedalaman dan kompleksitas seni menyebabkan para ahli membuat definisi seni untuk
mempermudah pendekatan kita dalam memahami
dan menilai seni. Konsep yang muncul bervariasi sesuai dengan latar
belakang pemahaman, penghayatan, dan
pandangan ahli tersebut terhadap seni.
Beberapa definisi tersebut antara lain :
1.
Ensiklopedia Indonesia
Seni adalah
penciptaan benda atau segala hal
yang karena keindahan bentuknya, orang senang melihat atau mendengar.
2. Ki Hajar Dewantara
Seni merupakan perbuatan manusia (penggubah) yang timbul
dari perasaannya dan bersifat indah,
sehingga dapat menggerakkan jiwa dan
perasaan manusia (penerima).
3. Achdiat Kartamihardja
Seni adalah kegiatan rohani manusia yang
merefleksikan realitas ke dalam suatu
karya. Bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu
dalam batin penerimanya.
4. Aristoteles
Seni adalah peniruan bentuk alam dengan kreatifitas dan ide penggubahnya agar lebih indah.
5. Leo Tolstoy
Seni adalah
suatu kegiatan manusia (penggubah) yang
secara sadar dengan perantara tanda-tanda lahiriah tertentu menyampaikan
perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orang lain (penerima) sehingga
ikut merasakan perasaan-perasaan seperti yang
ia (penggubah) alami.
6. Schopenhauer
Seni adalah suatu usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk
yang menyenangkan. Meskipun musik adalah seni yang paling abstrak, tapi tiap
orang menyukainya.
7. Thomas Munro
Seni adalah alat
buatan manusia (penggubah) untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia
lain (penerima) yang melihatnya. Efek-efek tersebut mencakup segala tanggapan
yang berwujud pengamatan, pengenalan, imajinasi yang rasional maupun yang
emosional.
2.
CABANG-CABANG SENI
Berdasarkan realita yang berkembang di masyarakat, seni
digolongkan menjadi 5 cabang yang memiliki kesatuan dan keterkaitan.
1. Cabang seni
rupa bentuk medianya benda.
2. Cabang seni
sastra bentuk medianya tulisan
3. Cabang seni
musik bentuk medianya suara, benda, manusia dan gerak proses
4. Cabang seni
tari bentuk medianya tubuh manusia, gerak dan musik
5. Cabang seni
teater bentuk medianya manusia, benda/alam, akting, adegan, suara atau musik
3. SENI SEBAGAI
ESTETIKA
Estetika berada di luar lingkup logika ataupun etika.
Definisi menurut para ahli sebagai langkah pendekatan memahaminya antara lain
sebagai berikut.
1.
Al Ghazali
Keindahan suatu benda terletak pada perwujudan dari
kesempurnaan karakteristik benda itu dan ditambah dengan adanya jiwa atau roh
di dalamnya.
2. Alexander Baumgarten
Keindahan itu dipandang sebagai kesatuan yang merupakan
susunan yang teratur dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan erat satu
dengan yang lain secara keseluruhan.
4.
Herbert Read
Keindahan adalah suatu kesatuan hubungan formal dari
pengamatan yang menimbulkan rasa senang.
5.
Immanuel kant
Keindahan ditinjau dari dua sisi, yaitu:
Objektif : Keindahan
adalah keserasian suatu objek terhadap tujuan yang dikandungnya, sejauh objek
tersebut tidak ditinjau dari segi fungsi.
Subjektif : Keindahan
adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dengan logika dan konsep dan tanpa
disangkutpautkan dengan kegunaan praktis dapat mendatangkan rasa senang pada si
penghayat.
5. Zulser
Keindahan adalah sesuatu yang baik dan dapat memupuk rasa
moral.
6.
Thomas Aquines
Keindahan akan terbentuk jika memenuhi 3 syarat, yaitu
adanya :
a.
Integritas
(kesatuan) atau kesempurnaan,
b.
Proporsi yang
tepat dan harmonis.
c.
Klaritas
(kejelasan).
Penganut teori objektif menempatkan rasa estetis lebih
utama sehingga memliki konsep, pola pikir, atau alasan logis mengapa sesuatu
itu dikatakan indah. Penganut teori subjektif meletakkan keindahan secara
pribadi dalam diri si penikmat karya seni sehinga tidak dapat memberi alasan
mengapa sesuatu itu dikatakan indah.
Keindahan seni adalah keindahan ekspresi, kreasi seniman.
Jadi,
pemandangan alam bukan keindahan seni
4. SENI SEBAGAI KREATIVITAS
Manusia memiliki kelebihan berupa akal pikiran, kalbu,
emosi, nafsu, dan kemampuan membuat sesuatu. Usaha menggunakan akal pikiran
untuk membuat sesuatu (kreasi) yang baru, baik, nyata atau abstrak disebut
kreativitas. Proses kreasi seni mempunyai ciri khusus antara lain
seperti dibawah ini.
a. Unik
Unik artinya sesuatu yang lain dari pada yang lain, yang
belum pernah dibuat orang sebelumnya, baik dalam hal ide, teknik, dan media.
Alangkah baiknya jika karya senimu adalah hasil kreasimu sendiri, bukan mencontoh
dari yang sudah ada. Karya lain dapat digunakan sebagai pemicu munculnya
gagasan. Kembangkanlah gagasan tersebut menjadi sesuatu yang unik dan baru.
Dengan demikian, kreativitasmu akan terasah.
b. Individual (pribadi)
Artinya memiliki kekhususan ciri dari seniman pembuatnya,
yang berbeda dengan seniman lain karena perbedaan pandangan, penghayatan,
pengalaman, dan tehnik dalam membuat karya seni. Bandingkanlah karyamu
dengan karya temanmu. Objek yang dipakai
sebagai pemicu gagasan seni bisa jadi sama. Tapi karena pandangan, penghayatan,
pengalaman, dan teknik yang berbeda, hasilnya tentu akan berbeda.
c. Ekspresif
Karya seni merupakan hasil curahan bathin berupa
penjabaran dari ide, renungan, perasaan, atau pengalaman seniman. Seni yang tanpa
curahan bathin seolah-olah kering dan tak dapat menyentuh perasaan yang
menikmatinya.
d. Universal
Karya seni dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat,
bangsa, dan generasi karena adanya persamaan rasa estetik dan artistik.
e. Survival (tahan lama)
Nilai seni dalam suatu karya seni dapat dinikmati
sepanjang masa karena nilai estetikanya bersifat konsisten. Contohnya, karya
seni peninggalan zaman kuno, masih bisa kita nikmati sekarang.
5. FUNGSI DAN
TUJUAN SENI
Menurut antropologi, kesenian adalah salah satu unsur
budaya manusia. Kita dapat merasakan dalam pengalaman hidup sehari-hari, betapa
kita sangat membutuhkan sarana berekspresi dan menikmati keindahan dalam
berbagai bentuk.
Berdasarkan fungsinya sebagai pemenuh kebutuhan, seni
dipilah menjadi beberapa kelompok.
1. Fungsi
Individual
Manusia terdiri dari unsur fisik dan psikis. Salah satu
unsur psikis adalah emosi. Maka fungsi individual ini dibagi menjadi fungsi
pemenuhan kebutuhan seni secara fisik dan psikis / emosional.
a. Fisik
Fungsi ini banyak dipenuhi melalui seni pakai yang
berhubungan dengan fisik. Seperti busana, perabot, rumah, musik senam, dan
sebagainya.
b. Emosional
Dipenuhi melalui seni murni, baik dari segi si pembuat /
penggubah, maupun konsumen penikmat. Contohnya, lukisan, novel, musik, tari,
film, dan sebagainya.
2. Fungsi
Sosial
Fungsi sosial artinya dapat dinikmati dan bermanfaat bagi
kepentingan orang banyak dalam waktu relatif bersamaan. Fungsi ini
dikelompokkan menjadi beberapa bidang.
a. Religi / keagamaan
Karya seni dapat dijadikan ciri atau pesan keagamaan.
Contoh: kaligrafi, busana muslim, arsitektur atau dekorasi rumah ibadah,
lagu-lagu rohani.
b. Rekreasi/hiburan
Seni dapat dijadikan sebagai sarana melepas kejenuhan
atau mengurangi kesedihan. Hal itu dapat terjadi misalkan pada saat kita menyaksikan
musik, tarian,
film, dan lawak.
c. Komunikasi
Seni dapat digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu,
seperti pesan, kritik, kebijakan, gagasan, dan produk kepada orang banyak.
Contoh: lagu balada, poster, drama komedi, dan reklame. Tema yang sering dibuat
antara lain:
a)
Ketidakdisiplinan
anggota masyarakat terhadap lingkungan.
b)
Himbauan
melaksanakan program pemerintah.
c)
Anjuran
kesehatan / kesejahteraan.
d)
Ketidakadilan
suatu kebijakan.
d. Pendidikan
Pendidikan juga memanfaatkan seni sebagai sarana
penunjangnya. Contoh: gambar ilustrasi buku pelajaran, film ilmiah atau
dokumenter, poster ilmiah, lagu anak-anak dan foto.
Materi BAB 2
1. PENGERTIAN
TEATER MODERN
Teater berasal
dari kata Yunani, “theatron” (bahasa
Inggris, Seeing Place)yang
artinya tempat atau gedung pertunjukan.
Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai
segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam
rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang,
wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain
sebagainya (Harrymawan, 1993). Namun demikian, teater selalu dikaitkan dengan
kata drama yang berasal dari kata Yunani Kuno “draomai” yang
berarti bertindak atau berbuat dan “drame” yang berasal dari kata
Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan
lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih
ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting
tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata “drama” juga dianggap telah ada
sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM).
Hubungan kata “teater” dan “drama” bersandingan sedemikian erat seiring dengan
perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks
atau naskah atau lakon atau karya sastra (Bakdi Soemanto, 2001).
Dari penjelasan
di atas dapat disimpulkan bahwa istilah “teater” berkaitan langsung dengan
pertunjukan, sedangkan “drama” berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang
akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau drama yang
dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton. Jika “drama” adalah
lakon dan “teater” adalah pertunjukan maka “drama” merupakan bagian atau salah
satu unsur dari “teater”. Jika digambarkan maka peta kedudukan teater dan drama
adalah sebagai berikut.
Dengan kata
lain, secara khusus teater mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam
seni pertunjukan (to act) sehingga tindak- tanduk pemain di atas pentas
disebut acting. Istilah acting diambil dari kata Yunani “dran”
yang berarti, berbuat, berlaku, atau beraksi. Karena aktivitas
beraksi ini maka para pemain pria dalam teater disebut actor dan pemain
wanita disebut actress (Harymawan,
1993).
Meskipun istilah teater sekarang lebih umum digunakan
tetapi sebelum itu istilah drama lebih populer sehingga pertunjukan teater di
atas panggung disebut sebagai pentas drama. Hal ini menandakan digunakannya
naskah lakon yang biasa disebut sebagai karya sastra drama dalam pertujukan
teater. Di Indonesia, pada tahun 1920-an, belum muncul istilahteater. Yang ada adalah
sandiwaraatau tonil(dari bahasa Belanda: Het
Toneel). Rombongan teater pada masa itu menggunakan nama Sandiwara,
sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan
permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah
teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan (Kasim
Achmad, 2006).Istilah Sandiwara konon dikemukakan oleh Sri Paduka
Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa “sandi”
berarti “rahasia”, dan “wara” atau “warah” yang berarti, “pengajaran”.
Menurut Ki Hajar Dewantara “sandiwara” berarti “pengajaran yang
dilakukan dengan perlambang” (Harymawan,
1993).
A. Asal Mula
Teater
Waktu dan
tempat pertunjukan teater yang pertama kali dimulai tidak diketahui. Adapun
yang dapat diketahui hanyalah teori tentang asal mulanya. Di antaranya teori
tentang asal mula teater adalah sebagai berikut.
1. Berasal dari
upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara semacam itu yang
akhirnya berkembang menjadi pertunjukan teater. Meskipun upacara agama telah
lama ditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga sekarang.
2. Berasal dari nyanyian untuk menghormatiseorang pahlawan
di kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang
pahlawan yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk teater.
3. Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita
itu kemudian juga dibuat dalam bentuk teater (kisah perburuan, kepahlawanan,
perang, dan lain sebagainya).
Rendra dalam Seni
Drama Untuk Remaja (1993),
menyebutkan bahwa naskah teater tertua di dunia yang pernah ditemukan ditulis
seorang pendeta Mesir, I Kher-nefert, di zaman peradaban
Mesir Kuno kira-kira 2000 tahun sebelum tarikh Masehi. Pada zaman itu peradaban
Mesir Kuno sudah maju. Mereka sudah bisa membuat piramida, sudah mengerti
irigasi, sudah bisa membuat kalender, sudah
mengenal ilmu bedah, dan juga sudah mengenal tulis menulis.
I Kher-nefert menulis naskah tersebut untuk sebuah pertunjukan teater
ritual di kota Abydos, sehingga terkenal
sebagai Naskah Abydos yang menceritakan pertarungan antara dewa buruk
dan dewa baik. Jalan cerita naskah Abydos juga diketemukan tergambar dalam relief kuburan yang lebih tua. Para ahli bisa
memperkirakan bahwa jalan cerita itu sudah ada dan dimainkan orang sejak tahun
5000 SM. Meskipun baru muncul sebagai naskah
tertulis di tahun 2000 SM. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui juga bahwa pertunjukan teater Abydos terdapat unsur-unsur teater
yang meliputi pemain, jalan
cerita, naskah dialog, topeng, tata busana, musik, nyanyian, tarian, selain itu
juga properti pemain seperti tombak, kapak, tameng, dan sejenisnya.
B. Teater Modern
1. Teater
Transisi
Teater transisi adalah penamaan atas
kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan
karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok
teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater
Barat, dinamakan teater bangsawan.
Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun
masih dalam wujud cerita ringkas atau outline
story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita dengan
menggunakan panggung dan dekorasi. Mulai
memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan.
Pada periode transisi inilah teater
tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain pengaruh dari teater
bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang
dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yang
kemudian berkembang hingga di Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya
gedung Schouwburg pada tahun 1821
(Sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan masyarakat Indonesia pada
teater non-tradisi dimulai sejak Agust
Mahieu mendirikan Komedie
Stamboeldi Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik
telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa), yang pada saat itu
masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai
mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon yang pertama yang ditulis
oleh orang Belanda F.Wiggers yangberjudul
Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda,
Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), dan lain-lainnya, yang menggunakan
bahasa Melayu Rendah.
Setelah Komedie Stamboel didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera
Dardanella) yang didirikan Willy
Klimanoff alias A. Pedro
pada tanggal 21 Juni 1926. Kemudian
lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek,
Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya. Pada masa teater
transisi belum muncul istilahteater.
Yang ada adalahsandiwara.
Karenanya rombongan teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan
cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan
Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi
masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan.
2. Teater Indonesia tahun 1920-an
Teater pada masa kesusasteraaan
angkatan Pujangga Baru kurang berarti
jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting
dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai
bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk
dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan
kaum intelektual dimasa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat
keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama yang
pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar
tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari(artinya kebebasan yang
sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam
Efendi(1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi
pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama
Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis
lakon lainnya, yaitu Sanusi Panemenulis
Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning
Majapahit (1933) Muhammad
Yaminmenulis Ken Arok danKen Dedes (1934). Armiijn Panemengolah roman Swasta
Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah
drama. Nur Sutan Iskandarmenyadur karangan Molliere, dengan judul Si
Bachil.Imam Supardimenulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis
drama berjudul Nyai Blorong. Mr.
Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema
kebangsaan, persoalan, dan harapan serta
misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah
cendekiawan Indonesia, menulis dengan
menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan
Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno,
pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di
pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi,
dan Dr. Setan.
3. Teater
Indonesia tahun 1940-an
Semua unsur kesenian dan kebudayaan
pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung
pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di
arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam
situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaituAnjar Asmaradan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa
perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan
kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan
kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Maka pada tanggal
6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia
dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang
(Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir
Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan
kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan
kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yang telah
diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan
kesenian Indonesia, ternyata mengalami
hambatan yang datangnya dari barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu
yang membentuk badan perfilman dengan
nama Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya.Intensitas kerja Djawa Eiga
Kosya yang ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak
ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama Putra Asia,Ratu Asia, Pendekar Asia, yang kesemuanya
merupakan corong propaganda Jepang.
Dalam masa pendudukan Jepang kelompok
rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara
profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena
pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling
komersial, seperti misalnya Bintang
Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata
Hari, Pancawarna,dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan
cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor
dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan
sebagainya. Pengarang NyooCheong Seng,
yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara
lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati,dan Merah Delima.
Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan
pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan
Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian,
nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode
show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik .
Menyusul
kemudian muncul rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan
bintang-bintang eks Bolero, yaitu Dewi
Madadengan suaminya Ferry Kok,
yang sekaligus sebagai pemimpinnya.
Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan
teater mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak
masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida
Ayu, Ni Parini, danRencong
Aceh.
Hingga tahun
1943 rombongan sandiwara hanya dikelola
pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu
masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin
sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan
sandiwara Warna Sari adalah
penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan
drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia
menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik
minat penonton. cerita-cerita yang dipentaskan
antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca,
Dewi Rani,dan lain sebagainya.
Rombongan
sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan
sandiwara yang digemari rakyat jelata.
Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung di bawah
barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan
cerita-cerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang.
Anjar Asmara, Ratna Asmara,
dan Kama Jaya pada tanggal 6
April 1943, mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar
yang menyukai pertunjukan Matahari yang menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada
awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga
akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh penonton umum yang
lebih suka unsur hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak
lain sehingga akhirnya dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang
ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida,
Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna,
dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo di Waktu
Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo
di Waktu Malamdan Nusa Penida.
Pertumbuhan
sandiwara profesional tidak luput dari
perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu
memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua
rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus
dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan
Jepang, Kotot Sukardi menulis
lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng
Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik
Ibsenditerjemahkan dan judulnya diganti
dengan Jinak-jinak Merpati oleh
Armijn Pane. Lakon Ibu
Prajurit ditulis oleh Natsusaki
Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap
berikut dialognya. Para pemain tidak
boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah.
Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal
dikenalkannya naskah dalam setiap
pementasan sandiwara.
Menjelang akhir
pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang
berarti, yaitu Penggemar Maya
(1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota
cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional (dokter, apoteker, dan
lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme dan
agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional
dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi
kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan
religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan.
Bahwa teori teater perlu dipelajari
secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater NasionalIndonesia di Jakarta.
4. Teater Indonesia
Tahun 1950-an
Setelah
perang kemerdekaan, peluang
terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam perang kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka merenungkan peristiwa perang kemerdekaan,
kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan,
kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut, keiklasan sendiri dan
pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa
perang secara khas dilukiskan dalam lakonFajar Sidik(Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf
(Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan
Akhir(Sitor Situmorang,
1954), Titik-titik Hitam (Nasyah
Jamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara ada
lakon yang bercerita tentang kekecewaan paska perang, seperti korupsi,
oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan Komunisme,
melalaikan penderitaan korban perang, dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam
lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain
(1953) karya Utuy Tatang Sontani,
bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja (1956)
berdasarkan The Man In Grey Suit karyaAverchenko
dan Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karyaJohn
Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai
awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering
menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan
sampai ke Malaysia.
Realisme
konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi
pilihan generasi yang terbiasa dengan teater barat dan dipengaruhi oleh
idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat dengan idiom realisme konvensional ini
menjadi tonggak didirikannya Akademi
Teater Nasional Indonesia (ATNI)pada tahun 1955 oleh Usmar
Ismaildan Asrul Sani.
ATNI menggalakkan dan memapankan realisme
dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti
karya-karya Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan metode pementasan dan
pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian. Menurut Brandon
(1997), ATNI inilah akademi teater modern yang pertama di Asia Tenggara. Alumni
Akademi Teater Nasional yang menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati,
Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtono
mendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI). Himpunan Seni
Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.
5. Teater
Indonesia Tahun 1970-an
Jim lim mendirikan Studiklub Teater Bandung dan
mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater
etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan
teater Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim
mulai dikenal oleh para aktor terbaik dan para sutradara realisme konvensional.
Karya penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman
Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon The
GlassMenagerie(Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960,
Jim Lim menyutradari Bung Besar,
(Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater rakyat Sunda.
Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya
penyutradaraannya yang berjudul Pangeran
Geusan Ulun(Saini KM., 1961). Mengadaptasi
lakon Hamlet dan diubah
judulnya menjadiJakaTumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya
realistis tetapi isinya absurditas pada
lakon Caligula(Albert Camus, 1945), Badak-badak(Ionesco, 1960),
dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun,salah satu aktor dan
juga teman Jim Lim,melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim yaitu
mencampurkan unsur-unsur teater Barat dengan teater etnis.
Peristiwa
penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada tahun
1967, Ketika Rendrakembali ke
Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yangkemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak
berdasarkan naskah jadi (wellmade play)
seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari
improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu
tema yang diistilahkan dengan teater
mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya,
Bib Bop dan Rambate Rate
Rata (1967,1968).
Didirikannya
pusat kesenian Taman Ismail Marzuki
oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater
tidak hanya di Jakarta, tetapi
juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang,
Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67
(enam puluh tujuh) judul lakon yang
ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival
pertunjukan secara teratur, juga
lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky
tetapi nama-nama seperti Brecht, Artauddan Grotowsky juga diperbincangkan.
Di Surabaya
muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom
teater rakyat (kentrung dan ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi
Rahman, Hasyim Amir (Bengkel Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Mlarat Malang).
Di Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan
Syubah Asa mendirikan Teater Muslim. Di
Padang ada Wisran Hadi dengan teater Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar
Patturusi mendirikan Teater Makasar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh
Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.
Tokoh-tokoh
teater yang muncul tahun 1970-an lainnya
adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana
Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa
Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam
Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil)
dengan gaya pementasan yang kaya irama dari blocking,
musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater
Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras.
Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada
aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror.
N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata
artistik glamor.
6. Teater
Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun
1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan
lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik kampus sebagai akibat peristiwa
Malari 1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu
lahir beberapa kelompok teater yang sebagian
merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival
Teater Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis
festival di Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang
diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di Surabaya
ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati
dan Mukid F.
Pada saat itu
lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di
Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater
Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan
warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di
masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring,
Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde
Tabung.
Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang
menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan
rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidag-gidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater Re-publik,
dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota
Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali,
Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang
muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang muncul
Teater Potlot.
Dari Festival
Teater Jakarta muncul kelompok teater
seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu posisinya
sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi latihan.
Ada pula Teater Luka, Teater Kubur,
Teater Bandar Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor,
dan Teater Kami yang lahir di luar produk festival (Afrizal Malna,1999).
Aktivitas
teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan tinggi. Salah satu teater kampus
yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
pada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki
program Strata 1 untuk bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas teater
kampus mampu menghidupkan dan membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan
artistik.
2. TEATER TRADISIONAL
Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia
(2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak
sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater
tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional
merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat
dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya barumerupakan
unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh.
Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut
membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam
masyarakat lingkungannya.
Proses terjadinya atau munculnya teater
tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah
lainnya. Hal ini disebabkan oleh
unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda,tergantung kondisi
dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional
lahir. Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater tradisional yang ada di
daerah-daerah di Indonesia.
A. Wayang
Wayang merupakan suatu bentuk teater
tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri bagaimana asal muasalnya.
Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan
berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung.
Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan
Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi.
Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya
pertunjukan wayang.
Petunjuk semacam itu juga ditemukan
dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karyaMpu Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11.
Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat
tua. Sedangkan bentuk wayang pada zaman
itu belum jelas tergambar model pementasannya.
Awal mula adanya wayang, yaitu saat
Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun
930. Sang Prabu ingin
mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan
Wayang Purwa. Dalam gambaran itu
diinginkan wajah para dewa dan manusia Zaman Purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal (daun tal). Orang sering menyebutnya daun
lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit sebagaimana dikenal sekarang.
B. Wayang Wong (wayang orang)
Wayang Wong dalam bahasa
Indonesia artinya wayang orang, yaitu pertunjukan wayang kulit, tetapi
dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah bentuk teater tradisional Jawa yang
berasal dari Wayang Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk berbeda: dimainkan
oleh orang, lengkap dengan menari dan menyanyi, seperti pada umumnya teater
tradisional dan tidak memakai topeng.
Pertunjukan wayang orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di
Jawa Barat ada juga pertunjukan wayang orang (terutama di Cirebon) tetapi tidak
begitu populer. Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga dari keinginan para seniman
untuk keperluan pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit yang dapat dimainkan
oleh orang. Wayang yang dipertunjukan dengan orang sebagai wujud dari wayang
kulit -hingga tidak muncul dalang yang memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh
para pemainnya sendiri. Sedangkan wujud
pergelarannya berbentuk drama, tari dan musik.
Wayang orang dapat dikatakan masuk
kelompok seni teater tradisional, karena tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan
oleh para pelaku (pemain). Sang Dalang bertindak sebagai pengatur laku dan
tidak muncul dalam pertunjukan. Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang
yang agak berbeda, karena masih menggunakan topeng dan menggunakan dalang
seperti pada wayang kulit. Sang dalang masih terlihat meskipun tidak seperti
dalam pertunjukan wayang kulit. Sang Dalang ditempatkan dibalik layar penyekat
dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak pemain di depan layar penyekat. Sang
Dalang masih mendalang dalam pengertian semua ucapan pemain dilakukan oleh Sang
Dalang karena para pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya
menggerak-gerakan badan atau tangan untuk mengimbangi ucapan yang dilakukan
oleh Sang Dalang. Para pemain harus pandai menari. Pertunjukan ini di Madura
dinamakan topeng dalang. Semua
pemain topeng dalang memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog.
C. Makyong
Makyong merupakan suatu jenis teater
tradisional yang bersifat kerakyatan. Makyong yang paling tua terdapat di pulau
Mantang, salah satu pulau di daerah Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa
tarian joget atau ronggeng. Dalam perkembangannya kemudian dimainkan dengan
cerita-cerita rakyat, legenda dan juga cerita-cerita kerajaan. Makyong juga digemari oleh para bangsawan dan
sultan-sultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana.
Bentuk teater rakyat makyong tak
ubahnya sebagai teater rakyat umumnya, dipertunjukkan dengan menggunakan media
ungkap tarian, nyanyian, laku, dan dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat
yang sangat populer di daerahnya. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada
sastra lisan Melayu. Daerah Riau
merupakan sumber dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar
Makyong berasal dari daerah Riau, kemudian berkembang dengan baik di daerah
lain.
Pementasan makyong selalu diawali
dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada
pertunjukan makyong dan akan segera dimulai. Setelah penonton berkumpul,
kemudian seorang pawang (sesepuh dalam kelompok makyong) tampil ke
tempat pertunjukan melakukan persyaratan sebelum pertunjukan dimulai yang
dinamakan upacara buang bahasa atau upacara membuka tanah dan
berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan lancar.
D. Randai
Randai merupakan suatu
bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah
Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai saat ini, randai masih hidup dan bahkan
berkembang serta masih digemari oleh masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan
atau di kampung-kampung. Teater tradisional di Minangkabau bertolak dari sastra
lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra lisan yang disebut “kaba” (dapat diartikan sebagai
cerita). Bakaba artinya bercerita.
Ada dua unsur pokok yang menjadi dasar
Randai, yaitu.
1. Pertama,
unsur penceritaan. Cerita yang disajikan adalah kaba, dan disampaikan lewat gurindam,
dendang dan lagu. Sering
diiringi oleh alat musik tradisional Minang, yaitu salung, rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat
dialog.
2. Kedua,
unsur laku dan gerak, atau tari, yang dibawakan melalui galombang. Gerak
tari yang digunakan bertolak dari gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan
berbagai variasinya dalam kaitannya dengan gaya silat di masing-masing daerah.
E. Mamanda
Daerah Kalimantan Selatan mempunyai
cukup banyak jenis kesenian antara lain yang paling populer adalah Mamanda,
yang merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan, yang orang sering menyebutnya sebagai teater
rakyat. Pada tahun 1897 datang ke Banjarmasin
suatu rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka yang lebih dikenal dengan Komidi Indra Bangsawan. Pengaruh
Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di
Kalimantan Selatan. Sebelum Mamanda lahir, telah ada suatu bentuk teater rakyat
yang dinamakan BadaMoeloek,
atau dari kata Ba Abdoel Moeloek.
Nama teater tersebut berasal dari judul cerita yaitu Abdoel Moeloek karangan Saleha.
F. Lenong
Lenong merupakan teater rakyat Betawi.
Apa yang disebut teater tradisional yang ada pada saat ini, sudah sangat
berbeda dan jauh berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat
lingkungannya, dibandingkan dengan
lenong di zaman dahulu. Kata daerah
Betawi, dan bukan Jakarta, menunjukan bahwa yang dibicarakan adalah
teater masa lampau. Pada saat itu, di
Jakarta, yang masih bernama Betawi (orang Belanda menyebutnya: Batavia) terdapat empat jenis teater tradisional yang
disebut topeng Betawi, lenong,
topeng blantek, dan jipeng atau jinong.Pada kenyataannya
keempat teater rakyat tersebut banyak persamaannya. Perbedaan umumnya hanya
pada cerita yang dihidangkan dan musik pengiringnya.
G. Longser
Longser merupakan jenis teater
tradisional yang bersifat kerakyatan dan terdapat di Jawa Barat, termasuk
kelompok etnik Sunda. Ada beberapa jenis teater rakyat di daerah etnik Sunda
serupa dengan longser, yaitu banjet. Ada lagi di daerah (terutama, di Banten),
yang dinamakan ubrug.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa
longser berasal dari kata melong (melihat) dan seredet
(tergugah). Artinya barang siapa melihat (menonton) pertunjukan, hatinya akan
tergugah. Pertunjukan longser sama dengan pertunjukan kesenian rakyat yang
lain, yang bersifat hiburan sederhana, sesuai dengan sifat kerakyatan, gembira
dan jenaka. Sebelum longser lahir, ada beberapa kesenian yang sejenis dengan
Longser, yaitu lengger. Ada
lagi yang serupa, dengan penekanan pada tari, disebut ogel atau doger.
H. Ubrug
Ubrug merupakan teater tradisional
bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Banten. Ubrug menggunakan bahasa daerah
Sunda, campur Jawa dan Melayu, serupa dengan topeng banjet yang terdapat di
daerah Karawang. Ubrug dapat dipentaskan di mana saja, seperti halnya teater
rakyat lainnya. Dipentaskan bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk
memeriahkan suatu “hajatan”, atau meramaikan suatu “perayaan”. Untuk apa saja,
yang dilakukan masyarakat, ubrug dapat diundang tampil.
Cerita-cerita yang dipentaskan terutama
cerita rakyat, sesekali dongeng atau cerita sejarah Beberapa cerita yang sering dimainkan ialah Dalem
Boncel, Jejaka Pecak, Si Pitung atau Si Jampang (pahlawan rakyat setempat, seperti juga di
Betawi). Gaya penyajian cerita umumnya dilakukan seperti pada teater rakyat,
menggunakan gaya humor (banyolan), dan sangat karikatural sehingga
selalu mencuri perhatian para penonton.
I. Ketoprak
Ketoprak merupakan teater rakyat yang
paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di
Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak
merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan
kesenian rakyat lainnya seperti srandul
dan emprak.
1. Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)
2. Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
3. Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang
tertinggi)
Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan
bukan saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa.
Karena itu muncul yang disebut bahasa
ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik.
J. Ludruk
Ludruk merupakan teater
tradisional yang bersifat kerakyatan di daerah Jawa Timur, berasal dari daerah
Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran.
Dalam perkembangannya ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat seperti
karesidenan Madiun, Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek
Jawa Timuran tetap terbawa meskipun semakin ke barat makin luntur menjadi
bahasa Jawa setempat.Peralatan musik daerah yang digunakan, ialah kendang,
cimplung, jidor dan gambang dan sering ditambah tergantung pada kemampuan grup
yang memainkan ludruk tersebut. Dan lagu-lagu (gending) yang digunakan, yaitu Parianyar,
Beskalan, Kaloagan, Jula-juli, Samirah, Junian.
Pemain ludruk semuanya
adalah pria. Untuk peran wanitapun dimainkan oleh pria. Hal ini merupakan ciri
khusus ludruk. Padahal sebenarnya hampir seluruh teater rakyat di berbagai
tempat, pemainnya selalu pria (randai, dulmuluk, mamanda, ketoprak), karena
pada zaman itu wanita tidak diperkenankan muncul di depan umum.
K. Gambuh
Gambuh merupakan teater
tradisional yang paling tua di Bali dan diperkirakan berasal dari abad ke-16.
Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali kuno dan terasa sangat sukar
dipahami oleh orang Bali sekarang. Tariannya pun terasa sangat sulit karena
merupakan tarian klasik yang bermutu tinggi. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan kalau gambuh merupakan sumber dari tari-tarian Bali yang ada.
Sejarah gambuh telah dikenal sejak abad ke-14 di Zaman Majapahit dan kemudian
masuk ke Bali pada akhir Zaman Majapahit. Di Bali, gambuh dipelihara di istana
raja-raja.
Kebanyakan lakon yang
dimainkan gambuh diambil dari struktur cerita Panji yang diadopsi ke dalam
budaya Bali. Cerita-cerita yang dimainkan di antaranya adalah Damarwulan,
Ronggolawe, dan Tantri. Peran-peran utama menggunakan dialog
berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan berbahasa Bali. Sering pula para
punakawan menerjemahkan bahasa Kawi ke dalam bahasa Bali biasa.
Suling dalam gambuh yang suaranya sangat
rendah, dimainkan dengan teknik pengaturan nafas yang sangat sukar, mendapat
tempat yang khusus dalam gamelan yang mengiringi gambuh, yang sering disebut
gamelan “pegambuhan”. Gambuh mengandung kesamaan dengan “opera” pada teater
Barat karena unsur musik dan menyanyi mendominasi pertunjukan. Oleh karena itu
para penari harus dapat menyanyi. Pusat kendali gamelan dilakukan oleh juru tandak, yang duduk di tengah
gamelan dan berfungsi sebagai penghubung antara penari dan musik. Selain dua
atau empat suling, melodi pegambuhan dimainkan dengan rebab bersama seruling.
Peran yang paling penting dalam gamelan adalah pemain kendang lanang atau
disebut juga kendang pemimpin. Dia memberi aba-aba pada penari dan penabuh.
L. Arja
Arja merupakan jenis teater tradisional
yang bersifat kerakyatan, dan terdapat di Bali. Seperti bentuk teater tradisi
Bali lainnya, arja merupakan bentuk teater yang penekanannya pada tari dan
nyanyi. Semacam gending yang terdapat di daerah Jawa Barat (Sunda), dengan
porsi yang lebih banyak diberikan pada bentuk nyanyian (tembang). Apabila
ditelusuri, arja bersumber dari gambuh yang disederhanakan unsur-unsur tarinya,
karena ditekankan pada tembangnya. Tembang (nyanyian) yang digunakan memakai
bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Bali halus yang disusun dalam tembang macapat.
3. TEATER TRADISIONAL MADURA
A. Wayang Kulit
Pasangan Brandts Buys-van Zijp (1928: 4-5) mencatat bahwa
orang Madura jauh lebih menyukai pertunjukan topeng daripada pertunjukan wayang
kulit. Hal itu sangat berbeda dari apa yang terjadi di Jawa Timur terutamanya.
Demikian pula Pigeaud menulis (1938: 148): "Budaya Jawa kuno yang disertai
'budaya pewayangan' seperti yang dijumpai di Jawa Tengah tidak pernah berakar
dalam di lingkungan budaya Sunda dan Madura".
a. Pengaruh Budaya
Wayang kulit mungkin dibawa ke Madura oleh kaum
bangsawan. Banyak diantara para bangsawan Madura berkerabat dengan bangsawan
Jawa Tengah, dan amat meminati segala jenis seni Jawa yang juga merupakan
sumber prestise. Dengan demikian, sedikit demi sedikit berkembanglah suatu ragam
pewayangan Madura, yang berada di antara ragam Jawa dan ragam Bali.
Dengan merosotnya keraton‑keraton Madura secara bertahap
pada akhir abad ke‑19, nampaknya kesenian dari keraton ini tidak diambil alih
oleh masyarakat perdesaan yang memang tidak memiliki tradisi pendukung. Itulah
sebabnya, wayang kulit Madura kini hampir hilang sama sekali. Ada kemungkinan
bahwa pada masa lalu wayang kulit hadir bersamaan dengan wayang topeng, seperti
yang terjadi di Jawa.
Wayang kulit mungkin telah berkembang secara khusus di
lingkungan keraton dan keluarga bangsawan, sedangkan wayang topeng
dipertunjukkan baik di kalangan keraton maupun di lingkungan pedesaan, di dalam
bentuk yang kadang-kadang berbeda, suatu keadaan yang melindunginya dari
kepunahan total.
b. Pagelaran wayang kulit Madura
Pertunjukan wayang madura memiliki banyak ciri khas
dan sangat berbeda dari jenis wayang
kulit yang kini dipergelarkan di Jawa dan Bali. Dhalang duduk di atas sebuah lencak
(tempat tidur rendah dari kayu dan bambu) yang ditempatkan di dalam sebuah
ruang kecil tertutup di tiga sisi, kecuali di depan, dan dengan sebuah plafon
dari terob. Segi keempat yang menghadap ke penonton ditutup bagian bawahnya
dengan layar yang menyembunyikan sang dhalang.
hanya bagian atasnya yang terbuka untuk permainan boneka wayang. Hiasan‑hiasan
berupa layar, ukiran, dan tiang keemasan membingkai tempat panggung bersegi
empat itu.
Boneka wayang, terbuat dari kulit berukir, langsung
dimainkan tanpa layar dan bayangan, seperti memainkan boneka berbentuk patung. Sebuah bola
lampu besar tergantung di plafon dan menerangi dhalang serta bonekanya. Seorang sinden duduk berdekatan dengan dhalang.
Gamelan berada di luar, di sisi luar ruang dhalang, tepat di depan penonton.
Tata ruang semacam itu tidak memungkinkan dhalang untuk mernberi isyarat langsung
kepada gamelannya, seperti yang lazim dilakukan pada pertunjukan wayang lain.
Oleh karena itu, dhalang menggunakan
larnpu beraneka warna (dua putih, satu hijau, satu kuning dan satu merah) yang
ditempatkan di kaki kotaknya, di depan orkes, agar dapat mernberikan perintah
mengenai tempo, kornposisi, dan sebagainya, dengan menggunakan isyarat yang
telah ditentukan sebelumnya.
Sebagai perbandingan, tata letak wayang kulit Jawa dan
Bali adalah sebagai berikut: orkes, seorang pesinden atau lebih, dan dhalang
sernua berada di sisi yang sama dengan layar; penonton berada di
kedua sisi, dapat di sisi dhalang atau
di sisi wayang, tergantung pada kebiasaan setempat. Dengan demikian, dhalang dapat mernimpin dari dekat semua
segi pertunjukan yang serba rumit itu. Perbedaan lain: yang memukul lernpengan‑lempengan
logam kepprak, untuk mernberi tekanan
pada adegan kekerasan atau percakapan seru, serta untuk mempercepat tempo,
adalah seorang anak laki‑laki yang duduk dekat dhalangnya, sedangkan di Jawa
dan Bali dhalanglah yang melakukannya.
Adapun wayang agaknya dibuat supaya dapat dilihat dan
digerakkan tanpa bayangan karena ukirannya sederhana dan warnanya agak
mencolok. Perangkat wayang relatif masih baru dan gayanya mirip wayang dari
Bali. Kayon atau gunungannya terdiri dari tiga unit dan bukan satu seperti di
dalam wayang kulit klasik. Ceritayang dimainkan berjudul Aji Pancasona dengan tokoh
dari kisah Mahabharata dan dimainkan
dengan bahasa Madura tidak mengikuti pola biasa dan tampak sebagai kreasi bebas
dari dhalang
B. Topeng Dhalang
a. Panggung Pertunjukan
\
Dhalang duduk bersila
di antara pemusik gamelan dan tidak terlihat oleh penonton karena disekat oleh
kain yang dicat. Dialah yang menuntun penari topeng yang sedang berpentas di
sebelah kain itu, di depan penonton. Para penari itu memberikan raga yang
hidup, walaupun bertopeng, kepada suara dhalang
yang berubah‑ubah dan mereka bergerak dengan memberi kesan bahwa mereka
adalah boneka wayang yang hidup.
Pada kain penyekat dibuat beberapa lubang pada ketinggian
yang cocok supaya dhalang dapat
mengikuti pernentasan yang berlangsung dibelakang kain. Jarang disediakan
panggung tinggi; pada umumnya para penari atau pemain bermain di lantai, pada
ketinggian yang sama dengan penonton yang mengitari panggung di tiga sisinya.
Sisi keempat adalah tirai latar belakang yang menyembunyikan dhalang, orkes, dan tempat persiapan
penari.
Rombongan biasa terdiri dari dua puluh sampai empat puluh
anggota, termasuk pernain musik, pernain‑penari dan juru teknik. Rombongan itu
tidaklah terdiri dari pemain profesional, tetapi menggabungkan petani, tukang,
pedagang kecil, karyawan yang mencari tambahan nafkah, terutama pada musim
kemarau. Hanya beberapa dhalang terkenal
dapat dianggap sebagai semiprofesional.
b. Lakon atau Cerita pada pertunjukan Topeng Dhalang
Dhalang menggunakan
sernua tingkatan bahasa Madura dan Jawa, bahkan dengan sedikit menggunakan
bahasa Indonesia pula. Di daerah Sumenep kebanyakan lakon yang dimainkan
mengangkat dari adegan wiracerita Ramayana
dan Mahabharata. Adegan itu
disesuaikan oleh setiap dhalang yang
kerap pula menciptakan adegan baru berdasarkan cerita rakyat yang demikian luas
itu.
Beberapa lakon yang diainkan pada pementasan topeng
Dhalang diantaranya; Arjuna Kembhar, Romo
Gandrung, Gatotkaca Palsu, Romo Panganten, Pandhaba Uma, Kresna Toron, Sumbodro
Tondhung, Prabu Dosomoko, dsb. Salah satu rombongan dari Dasok selain
mengambil lakonnya dari Ramayana dan Mahabharata, juga merujuk kepada cerita
Panji, atau menggabungkan adegan dari beberapa cerita rakyat (misalnya Panji
Jaeng Kusumo, nama. tokohnya). Rombongan itu juga mengangkat banyak cerita
yang dianggap kuno yang konon diturunkan dari leluhur dan disimpan di dalam
buku yang terbuat dari kulit kayu: Polo
Salaka (Pulau Perak), Polo Mas (Pulau
Mas), Tase' Beddhi (Lautan Pasir), Kole'Pesse (Kulit Besi).
Meskipun topeng Panji
dikenal populer di daerah Jawa Timur dan Pamekasan, topeng‑topeng daerah
Sumenep lebih sering mengambil gaya Panji (dari wayang gedog) daripada gaya
Purwo (dari wayang purwa yang
mengangkat cerita Ramayana dan Mahabharata).
Untuk ritus‑ritus tertentu, yaitu rokat pandhaba, rombongan topeng mementaskan cerita khusus. Rokat
adalah upacara yang berfungsi mencegah bahaya yang menghantui sebuah
rumah, seseorang, atau suatu masyarakat. Rokat
pandhaba (berasal dari Lima Pandawa dalarn teks Mahabharata) dilaksanakan khusus untuk orang yang dianggap mengidap
bala karena kelahirannya: beberapa konfigurasi dalam hubungan persaudaraan
dianggap pembawa sial untuk kakak/adik yang bersangkutan, dan sial itu harus
dienyahkan melalui ritus yang sesuai, yaitu rokat
pandhaba. Hanya sebuah cerita yang dipentaskan selama ritus ini: rokat Bhatara Kala yang dipentaskan
seusai pertunjukan topeng biasa, apa pun lakon yang dipilih untuk yang terakhir
ini menjelang mata hari terbit.
Rombongan topeng biasanya
dipanggil untuk berpentas pada perayaan perkawinan atau rokat atau hajhat, yaitu
upacara hajatan pribadi yang bersifat ritual atau untuk membayar nadar? Pada
umumnya tuan rumahlah yang memesan lakon yang diinginkan. Kadang‑kadang
rombongan mementaskan lakon pendek sebelum atau sesudah pertunjukan pokok pada
malam hari, pada tengah hari jika rombongan itu disewa untuk acara perkawinan
yang lama sekali, dan bukan untuk satu malam saja (dari pukul 21.00 malam
sampai terbitnya matahari).
c. Jenis Topeng Madura
Topeng Madura terpasang berkat dua tali yang diselipkan
ke belakang kepala. Sistem topeng cokotan
Jawa, dengan pernain menggigit lidah kayu atau kulit yang ada di bagian
dalam topeng, jarang digunakan. Topeng Madura lebih kecil daripada topeng Jawa.
Tingginya dari 12 sampai 16 cm, dan lebarnya 15 sampai 21 cm (menurut Soelarto,
1977: 111). Dewasa ini semua topeng terbuat dari kayu, pada umumnya kayu dadap.
Semua pertunjukan topeng tanpa perkecualian (dari ta‑bhutaan sampai ke topeng sendiri)
dimainkan oleh pernain laki‑laki saja. Yang paling muda dengan berdandan ala
waria, dapat memainkan peran perempuan.
Bab
3
Jika kita melihat karya-karya seni rupa yang berkembang
pesat dan kian beraneka ragam jenisnya terkadang membuat kita kesulitan
menggolongkan karya-karya seni rupa tersebut. Begitupun dalam menyebut atau
memberi nama sebuah karya seni rupa seringkali masih kurang tepat, bahkan jauh
dari pengertian yang sesungguhnya. Hal tersebut lebih dikacaukan lagi dengan
tidak adanya batasan dan fungsi yang pasti dalam proses pembuatannya. Sebagai
contoh karya-karya seni terapan yang pada kenyataannya tidak memiliki fungsi
secara praktis terhadap kebutuhan fisik manusia, namun hanya sekedar bertujuan
dekoratif atau menghias saja. Demikian pula pada sebagian karya seni murni yang
ternyata tidak sekedar memenuhi kebutuhan estetik semata, namun dapat berfungsi
menopang kebutuhan hidup manusia secara fisik, atau dengan kata lain memiliki
nilai pakai.
Kenyataan seperti di atas memang dapat terjadi pada sebagian
karya seni rupa. Namun, jika kita lihat pendekatan secara umum kita dapat
menggolongkan karya-karya seni rupa sebagai berikut:
1. Karya Seni Rupa Murni (fine art)
Karya seni rupa murni merupakan jenis karya seni rupa yang
dibuat dengan tujuan memenuhi kebutuhan estetik atau nilai-nilai keindahan
semata, terlepas dari fungsi praktis.Karya semacam ini dibuat untuk kepentingan
mengekspresikan emosi atau perasaan penciptanya.Yang tergolong karya seni murni
yaitu seni lukis, seni patung, dan seni grafis. Seni lukis merupakan karya yang
umumnya berbentuk dua dimensi dan dibuat di atas permukaan kertas, kanvas,
dinding, kaca dan bahan lain yang memungkinkan untuk itu. Bahan pewarna yang
digunakan dpat menggunakan cat, tinta, arang, pensil dan lain-lain. Ada pula
karya seni lukis yang dibuat pada tubuh manusia yang lazim disebut body
painting. Teknik melukis dapat beragam. Secara konvensional dengan menyapukan
bahan pewarna menggunakan alat berupa kuas, namun ada pula teknik melukis yang
memanfaatkan plototan cat dari tubenya, atau bahkan dengan sapuan jari-jari
tangan senimannya. Seni patung merupakan karya seni rupa yang berbentuk tiga
dimensi (dapat dinikmati dari beberapa arah pandang) dibuat dengan menggunakan
berbagai media seperti, kayu, batu, semen, fiber, lilin, tanah liat atau bahkan
es. Teknik membuat patung menyesuaikan dengan bahan yang dipakai, dengan cara
membentuk dengan tangan, membutsir, memahat, ataupun dengan teknik cetak. Corak
seni patung juga bermacam-macam, ada patung naturalis yang menggambarkan benda
seperti wujud asli yang ada di alam, ada pula yang bercorak abstrak sehingga
sulit dikenali bentuknya.Sedangkan seni grafis merupakan jenis karya seni rupa
yang dibuat dengan teknik cetak seperti teknik cukil, lithografi, cap, cetak
sablon dan lain-lain.Seperti halnya seni lukis, seni grafis dibuat untuk tujuan
mengekspresikan emosi dan gagasan senimannya.
2. Seni Rupa Terapan (applied-art)
Berbeda dengan seni rupa murni, seni rupa terapan dibuat
dengan mengutamakan tujuan praktis, dengan kata lain dimanfaatkan fungsi
pakainya untuk memenuhi kebutuhan fisik manusia. Namun demikian karya
seni rupa terapan diupayakan memilki nilai artistik pula.Membuat karya seni
rupa terapan tidak sebebas membuat karya seni rupa murni karena di dalamnya
harus mempertimbangkan persyaratan-persyaratan tertentu, seperti syarat
keamanan (security), kenyamanan (comfortable), dan keluwesan dalam penggunaan
(flexibility).
Mengingat banyaknya jenis karya tersebut, maka karya seni
rupa terapan dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu desain dan
kriya.Desain merupakan karya seni yang dibuat berdasarkan pesanan atau
permintaan clien (pemesan).Yang termasuk dalam karya desain yaitu; desain
grafis (desain komunikasi visual), desain arsitektur (rancang bangun), dan
desain produk.Karya desain grafis adalah karya yang dibuat untuk
mengkomunikasikan pesan tertentu kepada publik atau khalayak umum seperti
poster, iklan, baliho, selebaran, pamflet, banner, kartu ucapan, desain
undangan dan lain-lain. Desain arsitektur adalah karya seni rupa yang bertujuan
memenuhi kebutuhan akan hunian atau tempat tinggal dan fasilitas umum seperti
rumah, gedung, tempat ibadah, jembatan dan lain-lain. Sedangkan desain produk
merupakan karya seni rupa yang berupaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
seerti perabot rumah tangga, alat elektronik, alat komunikasi, alat
transportasi, aksesoris, busana, dan lain-lain.
Ketiga jenis desain di atas umumnya dibuat dengan
menggunakan alat-alat berteknologi modern dan mamanfaatkan bahan-bahan sintetis
atau bahan buatan.Karena dibuat dengan menggunakan mesin, maka produksinya
dapat dibuat dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang relatif singkat, namun
unsur ekspresi tidak tersampaikan secara bebas karena prosesnya tidak
melibatkan sentuhan tangan langsung dari penciptanya.
Seni kriya atau seni kerajinan memilki perbedaan dengan
desain.Kebanyakan karya seni kriya dibuat secara tradisional dengan
keterampilan tangan pembuatnya dan banyak memanfaatkan bahan-bahan alam seperti
kayu, bambu, batu, logam, tanah liat, kulit binatang, dan lain-lain.Karya seni
kriya kini banyak digemari karena unsur keasliannya, tak heran orang-orang
banyak yang merasa bangga mengoleksi barang-barang kriya daripada barang-barang
buatan pabrik.Yang termasuk dalam golongan karya seni kriya diantaranya;
keramik (gerabah), ukir kayu, kerajinan kulit, anyaman, batik, dan kerajinan
logam.
Pada perkembangannya jenis seni kriya jauh lebih banyak
mengeksplorasi bahan-bahan alam seperti kulit kerang, batu-batuan, bahkan
tumbuhan.Banyak pula sebagian bahan limbah dan bahan sintetis yang kemudian
dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan seperti limbah plastik, kertas, karet, dan
lain-lain.Sekalipun memanfaatkan bahan buatan, namun karya-karya semacam ini
tetap digolongkan dalam seni kriya. Barangkali orang-orang lebih banyak
melihatnya dari segi proses membuatnya yang mengandalkan kreativitas dan
keterampilan tangan ketimbang dari segi bahan. Kini seni kriya tumbuh makin
pesat di Indonesia.Banyak daerah-daerah yang kemudian menjadi sentra-sentra
kerajinan.Kondisi geografis dan demorafi Indonesia merupakan faktor pendukung
menjamurnya seni kerajinan Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar